Syafa'at
  /  branding   /  Hidup mati kita untuk BRAND?

Hidup mati kita untuk BRAND?

“Look, we do not play for coaches.

We don’t play for campus,

We don’t play for for the NBA

In fact we do not play for US.

We play for BRANDS

I’m serious. They are the only ones who will pay us dearly”

 

Saya terusik dengan sebuah dialog di dalam film AMATEUR di menit 58:15. Film yang menceritakan kisah hidup para pemain basket amatir menuju profesionalnya. Suka duka perjuangan mereka yang dikemas apik dalam film berdurasi 1,5 jam ini diproduksi tahun 2018 oleh Mandalay Pictures dan Netflix. Ringkasan dialognya kira-kira begini…

“Dengar, kita tidak bermain untuk pelatih. Kita tak bermain untuk kampus, Kita tidak bermain untuk NBA. Bahkan kita tidak bermain untuk Amerika. Kita bermain untuk BRAND. Aku serius. Mereka satu-satunya yang akan membayar kita mahal.”

Dialog antara senior dan juniornya ini sarat makna. Di Amerika sudah jamak apabila orientasi sebuah kehidupan itu selalu ke materi. Ukuran kesuksesan selalu diukur dengan seberapa harta materiil seseorang. Seberapa sukses dengan profesinya, seberapa banyak kekayaan yang didapatnya. Pun dalam permainan olahraga basket yang di Amerika adalah termasuk olah raga favorit untuk menggapai mimpi anak-anak mudanya untuk mencapai kesuksesan. Kesuksesan pemain basket adalah seberapa besar nilai kontrak yang didapat dari sebuah brand.

Basket seolah seperti komoditas untuk menggapai kontrak. Di film tersebut juga di gambarkan bahwa para pemain untuk mencapai kesuksesannya tak jarang melakukan kecurangan atapun persaingan yang tidak sehat. Tidak fair, demi kepentingannya sendiri. Konflik-konflik yang disuguhkan tak ubahnya berebut segenggam coin emas yang berada di tempat sampah yang besarnya selapangan basket. Sikut sana sikut sini, nggak peduli kanan kiri yang penting mendapatkan materi yang diinginkan.

Amerika mengusung ideologi yang khas. KAPITALISME. BRAND adalah istilah yang memang muncul dari ideologi ini. Tidak ada yang bertentangan dengan syariah. Karena istilah Brand dan definisinya pun bersifat umum/ boleh/ mubah. Yang membedakan adalah praktek branding apabila dilandasi dengan semangat kapitalisme maka akan keluar output sikut sana sikut sini, berkompetisi dengan cara yang tidak sehat, saling menghancurkan dan lain sebagainya. Sebagai contohnya kita bisa lihat penyampaian mereka (brand-brand amerika) ketika membuat iklan-iklannya. Saling menghina dan menjatuhkan. Tampak sekali tidak memiliki pemahaman tentang “Rizki” yang benar. Brand yang lahir memiliki produk sejenis dan karakter yang sama dianggapnya sebagai kompetitor. Segala daya upaya brand kompetitor dipelajari, kemudian berupaya melakukan strategi agar competitor kalah dalam segala hal. Sehingga produk kita yang diminati.

Bersaing itu bagus. Di dalam Branding Syariahpun ada istilah Fastabiqul Khairat atau berlomba-lomba dalam kebaikan. Ketika seorang muslim memahami makna Rizki. Dimana ada dua sisi lingkaran yang berbeda. Satu lingkaran adalah wilayah yang dikuasai manusia, satu lagi adalah lingkaran yang menguasai manusia. Maka dalam lingkaran ikhtiar inilah manusia semestinya memniliki tujuan dalam branding untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akherat, berjalan diatas SyariatNya sebagai pijakannya. Memaksimalkan aspek-aspek sunatullahNya dimana di wilayah ini manusia bisa belajar dan mendapatkan strategi paling jitu walau boleh dengan ilmu-ilmu umum yang sifatnya universal. Secara syariat pun aman.

Maka seorang muslim yang ingin taat memang sebaiknya tidak hanya bersandar pada materi dalam aktivitasnya. Karena tujuan seorang muslim di lahirkan dimuka bumi ini tak lain adalah sebagai Abdullah (QS. Adzaariat 56). “Tidak aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepadaku” kata Allah. Maka Allah sebagai pencipta memiliki wewenang mutlak untuk mengatur manusia. Sedangkan manusia memiliki pilihan untuk taat apabila ingin selamat dunia akherat. Maka bersandar kepada BRAND dalam hidup kita sangatlah tidak tepat. Lebih pas kalau kita bersandar kepada Yang menciptakan pemilik Brand.

Wallahua’lam bishowab

Bantul, 3 Juli 2018

@andikakerenlah

Post a Comment